Salah satu judul berita di harian Bangka Pos, Senin 24 Maret 2008 adalah “Kirim Gambar Porno Diancam Rp 1 Miliar”. Adapun isi dari berita tersebut adalah tentang rumusan tindak pidana dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yaitu dalam Pasal 42 ayat (1) yang isinya “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).”
Pasal 26 yang dimaksud adalah “Setiap orang dilarang menyebarkan informasi elektronik yang memiliki muatan pornografi, pornoaksi, perjudian dan atau tindak kekerasan melalui komputer atau sistem elektonik”. Disamping perumusan tindak pidana tersebut, pihak Pemerintah, yaitu Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Komunikasi dan Informatika, Mohammad Nuh juga menyatakan bahwa dalam waktu dekat akan melakukan pemblokiran terhadap situs-situs porno karena sudah semakin maraknya situs-situs porno yang beredar di internet (cyberporn).
Kriminalisasi Cyberporn
Kriminalisasi pada hakikatnya merupakan kebijakan untuk menetapkan suatu perbuatan yang semula tidak merupakan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana. Rumusan Pasal 42 ayat (1) RUU ITE di atas menunjukkan adanya kebijakan kriminalisasi terhadap perbuatan yang menyebarkan bahan-bahan pornografi di internet. Apabila dilihat dari perumusan sistem sanksi pidana dan lamanya pidana, pasal tersebut menggunakan sistem kumulatif dan maksimal khusus. Sistem kumulatif karena menggunakan istilah “dan” sehingga kedua jenis sanksi pidana tersebut harus dijatuhkan bersamaan dan sistem maksimal khusus karena lamanya pidana penjara maupun pidana dendanya menggunakan sistem maksimal dengan menggunakan istilah “paling lama dan paling banyak”.
Penggunaan sistem kumulatif dan maksimal khusus tersebut kiranya dapat ditinjau kembali, mengingat dalam sistem kumulatif memiliki kelemahan, yaitu bersifat kaku dan imperatif, serta dapat menimbulkan masalah apabila diterapkan terhadap badan hukum/korporasi. Sebagaimana diketahui bahwa situs-situs porno sebagian juga dikelola oleh sebuah korporasi. Ada beberapa alternatif sistem yang dapat digunakan, seperti sistem alternatif dan sistem tunggal. Namun keduanya juga mengandung beberapa kelemahan. Menurut penulis yang lebih tepat digunakan sistem alternatif-kumulatif agar dapat memberikan fleksibelitas bagi hakim untuk memilih pidana yang tepat bagi pelaku, baik untuk orang maupun korporasi. Jadi rumusan istilah yang dapat digunakan adalah istilah “dan/atau”.
Sementara sistem perumusan lamanya pidana terhadap cyberporn hendaknya tidak hanya menggunakan maksimum khusus, tetapi juga sistem minimum khusus. Hal ini bertolak dari cyberporn sebagai bentuk kejahatan yang dipandang lebih berbahaya, meresahkan masyarakat dan dampak negatifnya yang lebih luas daripada jenis pornografi lainnya, serta untuk menghindari terjadinya disparitas pidana dan adanya pemberian sanksi pidana yang relatif rendah.
Bukan Upaya Baru
Adanya upaya pemberatasan situs porno melalui perumusan tindak pidana dalam suatu Rancangan Undang-Undang (RUU) dengan sanksi yang berat dan sikap tegas Pemerintah untuk melakukan pemblokiran merupakan suatu usaha yang sangat positif dan perlu didukung oleh masyarakat luas. Namun demikian, 2 (dua) upaya tersebut sebenarnya bukanlah sebuah hal baru yang dilakukan oleh Pemerintah, mengingat upaya-upaya tersebut sudah pernah dilakukan, namun hasilnya belum sesuai harapan. Dalam hal kriminalisasi cyberporn sebenarnya sudah diatur dalam beberapa undang-undang, seperti Undang-undang No. 36/1999 tentang Telekomunikasi, dalam Pasal 45 jo 21, Undang-Undang No. 40/1999 tentang Pers, dalam Pasal 18 ayat 2 jo Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 18 ayat 2 jo Pasal 13 dan Undang-Undang No. 32/2002 tentang Penyiaran, dalam Pasal 57 sub d jo Pasal 36 ayat (5), Pasal 57 sub e jo Pasal 36 ayat 6 dan Pasal 58 sub d jo Pasal 46 ayat (3). Disamping dalam Undang-undang, beberapa rancangan undang-undang (RUU) juga merumuskan kriminalisasi cyberporn, seperti dalam Rancangan Undang-undang KUHP, Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) dan Rancangan Undang-undang Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI).
Berdasarkan deskripsi di atas, jelas bahwa upaya pemberantasan cyberporn melalui kriminalisasi dalam
undang-undang sudah dilakukan namun dalam implementasinya mengalami hambatan-hambatan, bahkan tidak efektif. Oleh karena itu, kebijakan kriminalisasi tersebut perlu untuk dianalisis dan tinjau kembali secara mendalam guna melihat kekurangan dan kelemahan apa saja yang menjadi hambatan dalam pemberantasan cyberporn. Hal ini perlu dilakukan karena cyberporn merupakan jenis kejahatan penyebaran materi-materi pornografi yang berbasis hitech (teknologi tinggi) dan merupakan Transnational crime (kejahatan transnasional: melewati batas-batas negara).
Upaya lain yang akan dilakukan Pemerintah adalah pemblokiran situs-situs porno. Program pemblokiran ini merupakan pendekatan teknologi (techno prevention) yang sangat baik, tetapi belum tentu tepat dan efektif. Hal ini mengingat adanya beberapa kelemahan, seperti pertama, situs porno begitu banyak dan setiap hari bermunculan yang baru, sehingga user, warnet, pemerintah bahkan ISP butuh teknologi tinggi, biaya besar dan SDM yang kerja fulltime 24 jam, dan kedua. Apabila sensor dilakukan tanpa meneliti satu persatu, maka sensor internet dapat mengakibatkan terhambatnya informasi lain yang dibutuhkan, seperti tentang kehamilan, penyakit menular via hubungan seksual dan program keluarga berencana.
Pendekatan teknologi sepertinya tidak akan membuahkan hasil yang maksimal dan lebih cenderung kontra produktif. Oleh karena itu, perlu dilakukan riset yang lebih mendalam untuk menciptakan teknologi yang relatif murah, disamping adanya kesadaran dari ISPs, pemilik warnet dan user itu sendiri. Perlu juga untuk mempelajari sistem pemblokiran situs porno di Saudi Arabia dan Iran yang dinilai berhasil melakukan filter internet, walaupun tetap diakui mengakibatkan keterbatasan informasi. Selain itu perlu untuk melakukan pendekatan lain, yaitu pendekatan budaya/kultural, pendekatan moral/edukatif, pendekatan global/kerjasama internasional dan pendekatan ilmiah. (*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar